“Banyak orang berpikir salah mengenai apa itu kebahagiaa sejati. Hal itu tidak tercapai melalui kepuasan diri sendiri, melainkan melaui kesetiaan kepuasaan terhadap tujuan yang berharga”.
-Hellen Keller-
Beberapa tahun
terakhir entrepreneurship benar-benar menjamur. Buku-buku bertemakan entrepreneur
membludak di toko buku. Seminar dan training yang menawarkan kesuksesan bisnis
membludak di seluruh kota. Kompetisi dan perlombaan bagi pengusaha muda makin
sering diadakan. Bahkan beberapa kampus tak mau ketinggalan mulai memasukkan
mata kuliah kewirausahaan sebagai mata kuliah wajib.
Tentu
ini sebuah perkembangan menarik dan patut disyukuri. Jika dulu menjadi karyawan
adalah dambaan para anak muda, sekarang justru sebaliknya, anak muda sedang
berlomba-lomba merintis usahanya masing-masing. Ketika ditanya apa rencananya
setelah lulus kuliah, para mahasiswa sudah tidak lagi canggung untuk menjawab, “Ingin
menjadi entrepreneur”. Sebuah jawaban yang kini dirasa lebih keren dan sangat
membanggakan.
Dalam
islam sendiri entrepreneurship sangat dianjurkan. Jauh sebelum Robert Kiyosaki
mengemukakan Qashflow Quadrant-nya,
Rasulullah belasan abad yang lalu sudah menasihatkan bahwa entrepreneurship
sangat layak dijadikan pilihan profesi bagi seorang muslim, Bukan self employee, apalagi employee. Bahkan dengan tegas Rasulullah
mewasiatkan bahwa Sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada pada perniagaan. Tak hanya
itu, sembilan dari sepuluh sahabat Rasulullah yang masuk surge adalah
entrepreneur yang andal.
Banyak
yang memutuskan untuk memilih profesi sebagai karyawan bukan karena dorongan
jiwa, tapi ketakutan menghadapi risiko dari berwirausaha. Padahal kita tentu
menyadari bahwa hidup adalah kumpulan dari risiko-risiko. Ketika sedang
mengendarai motor atau mobil di jalan raya, ada risiko kecelakaan. Ketika naik
pohon, ada risiko jatuh. Bahkan ketika tiduran di dalam rumah pun kita juga
punya risiko tertimbun reruntuhan rumah. Kok bisa? Ya kalau terjadi gempa,
angin topan, atau benacana alam yang tak terduga hal itu bukan mustahil untuk
terjadi.
Maka
agak kurang tepat jika banyak yang tidak segera memutuskan untuk memulai usaha
hanya karena alasan takut menghadapi risiko, takut gagal, takut modalnya habis,
takut dimarahi pelanggan, dan ketakutan-ketakutan lain yang belum tentu
terjadi. Hidup sebagai entrepreneur memang harus siap dengan banyak risiko. Justru
di sanalah menariknya. Risiko bukan hambatan, tapi dianggap sebagai tantangan. Bukan
untuk ditakuti, tapi untuk dihadapi. Saya kira, hampir semua profesi di muka
bumi ini ada risikonya. Bukan hanya pengusaha, karyawan juga punya risiko. Risiko
dimarahi atasan, risiko tanggung jawab dan tugas yang kadang berat, bahkan risiko
PHK sangat mungkin terjadi.
Maaf.
Bukan maksud untukmencela atau menyepelekan profesi lain, tetapi sekedar
mengingatkan bahwa pilihan hidup sebagai entrepreneur adalah salah satu pilihan
hidup yang bijak dan patut dihargai. Ada banyak keutamaan yang bisa didapat
oleh para pengusaha muslim. Apa saja itu?
Pertama,
yaitu peluang untuk memperluas kontribusi. Kita tentu menyadari tujuan utama
penciptaan manusia di muka bumi ini adalah dalam rangka menjadi khalifah fil ardh (wakil Tuhan di muka bumi). Sebuah mandate dan amanah yang
cukup besar tentunya. Manusia dicipta untuk memakmurkan bumi. Ketika seseorang
hidup hanya untuk memakmurkan diri sendiri, maka ia dinilai gagal dalam hidup. Apalagi
sudah tidak memberi manfaat, malah membuat orang lain menjadi susah hidupnya,
tentu ini lebih celaka lagi. Itulah sebabnya Rasulullah samai menempatkan orang
yang banyak kontribusinya bagi sesama di tempat yang sedemikian tinggi. Manusia
terbaik adalah manusia yang paling banyak memberi manfaat bagi sesama.
Itulah
salah satu niat baik yang seharusnya ada dalam hati semua entrepreneur, yakni
bagaiaman agar dengan usahan yang kita rintis ini nantinya bisa memberi
kontribusi terbaik bagi umat. Menurut Ippho Santosa, entrepreneur itu walau
belum bisa merekrut karyawan, pada hakikatnya dia sudah membuka lapangan kerja,
minimal untuk satu orang. Yaitu dirinya sendiri. Apalagi jika usaha sudah
membesar, maka konstitusi yang diberikan juga semakin besar. Karyawan yang
dipekerjakan membesar, pengangguran menyempit, dan hasil usaha kita bisa
dimanfaatkan untuk kebaikkan.
Itu
keuntungan pertama. Keuntungan berikutnya dari pilihan hidup sebagai entrepreneur
yaitu peluang untuk lebih menghargai waktu. Tahulah kita bahwa waktu pada
hakikatnya adalah umur kita. Apabila kita menggunakan waktu untuk hal yang
sia-sia, itu berarti kita sedang menyia-nyiakan umur kita. Begitu pun
sebaliknya, ketika kita menggunakan waktu kita dengan produktif, pada
hakikatnya kita sedang membuat usia kita produktif.
Nah, salah satu ikhtiar untuk
mengefektifkan waktu menurut hemat saya adalah dengan menjadi pengusaha. Mengapa?
Pertama, ketika kita baru merintis usaha, hampir seluruh waktu kita tercurah pada
usaha itu. Tidak ada waktu santai, yang ada adalah kerja keras dan terus
belajar. Baru merintis tapi sudah “berani” menggunakan waktu untuk bersantai,
maka ia sedang bersiap untuk tidak berhasil.
Tak
hanya itu, ketika seorang wirausahawan telah berhasil membesarkan bisnisnya
sehingga tanpa kehadirannya bisnis itu sudah bisa berjalan, waktunya bisa
tercurahkan sebaik mungkin untuk hal lain. Bill Gates misalnya yang kini lebih
banyak mengurus yayasan sosialnya ketimbang Microsoft-nya. Penghargaan terhadap
waktu bisa benar-benar dijalankan.
Keuntungan
ketiga yakni mengikuti wasiat Rasul. Empat belas abad silam Rasulullah sudah
menasihatkan kalau sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada dalam perniagaan. Itu
adalah pemberitahuan Rasul yang segala ilmunya bersumber dari Yang Mahatahu. Dan
yang lebih penting lagi, wirausahawan adalah manusia merdeka. Saya pernaah
menuturkan dalam buku, “Saudagar Langit”
bahwa wirausahawan tidak punya atasan. Jadi kalau lagi pengen kerja ya kerja. Kalau
ada aktivitas yang lain ya boleh saja. Tidak ada yang memarahi. Nggak ada bos
yang ngomel-ngomel. Kecuali dimarahi relasi atau pelanggan, itu lain ceritanya.
Betapa hebat Anda, jika hanya Allah dan diri Anda sendirilah yang menentukan
nasib usaha Anda. Bukan atasan, bukan CEO, bukan bos. Tentu Anda akan bebas
mengendalikan dan mengembangkan kreativitas Anda, tanpa dibatasi oleh orang
lain.
Salim
A. Fillah pernah menegaskan, mengapa investasi, harus menjadi aktivitas bagi
seorang mukmin, yakni agar menghargai waktu dan kerja keras, agar mengerti apa
itu risiko, agar berjiwa merdeka, agar menghargai silaturahim. Agar berwawasan
luas, agar cerdas mengelola anggaran, agar bisa belajar kepemimpinan, agar
dapat merasakan indahnya sedekah, agar lebih peka untuk bersyukur dan bersabar,
serta agar merasakan nikmatnya memberi kemanfaatan bagi orang lain.
Sedangkan
Imam Hasan Al-Banna pernah bertutur, “Hendaklah engkau memiliki proyek usaha
ekonomi betapa pun kayanya engkau, utamakan proyek mandiri betapa pun kecilnya,
dan cukupkanlah dengan apa yang ada pada dirimu betapa pun tingginya kapasitas
keilmuanmu. Janganlah engkau terlalu berharap untuk menjadi pegawai negeri dan
jadikanlah ia sesempit-sempit pintu rezeki”. Jangan ngambek. Bukan saya lho
yang bilang.
Pertanyaan
terakhir, siap jadi entrepreneur? Lebih lengkapnya, telah saya kupas dengan
detail dalam buku Saudagar Langit:
Membongkar 5 Kunci Kesuksesan Bisnis Manusia-Manusia Langit.
Sumber:
Hidup
Sekali, Berarti, Lalu Mati (Ahmad Rifa’I Ri’fan) : Sang Entrepreneur
Mantap
BalasHapus