Kamis, 07 Agustus 2014

Sang Entrepreneur


“Banyak orang berpikir salah mengenai apa itu kebahagiaa sejati. Hal itu tidak tercapai melalui kepuasan diri sendiri, melainkan melaui kesetiaan kepuasaan terhadap tujuan yang berharga”.
-Hellen Keller-

            Beberapa tahun terakhir entrepreneurship benar-benar menjamur. Buku-buku bertemakan entrepreneur membludak di toko buku. Seminar dan training yang menawarkan kesuksesan bisnis membludak di seluruh kota. Kompetisi dan perlombaan bagi pengusaha muda makin sering diadakan. Bahkan beberapa kampus tak mau ketinggalan mulai memasukkan mata kuliah kewirausahaan sebagai mata kuliah wajib.
            Tentu ini sebuah perkembangan menarik dan patut disyukuri. Jika dulu menjadi karyawan adalah dambaan para anak muda, sekarang justru sebaliknya, anak muda sedang berlomba-lomba merintis usahanya masing-masing. Ketika ditanya apa rencananya setelah lulus kuliah, para mahasiswa sudah tidak lagi canggung untuk menjawab, “Ingin menjadi entrepreneur”. Sebuah jawaban yang kini dirasa lebih keren dan sangat membanggakan.
            Dalam islam sendiri entrepreneurship sangat dianjurkan. Jauh sebelum Robert Kiyosaki mengemukakan Qashflow Quadrant-nya, Rasulullah belasan abad yang lalu sudah menasihatkan bahwa entrepreneurship sangat layak dijadikan pilihan profesi bagi seorang muslim, Bukan self employee, apalagi employee. Bahkan dengan tegas Rasulullah mewasiatkan bahwa Sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada pada perniagaan. Tak hanya itu, sembilan dari sepuluh sahabat Rasulullah yang masuk surge adalah entrepreneur yang andal.
            Banyak yang memutuskan untuk memilih profesi sebagai karyawan bukan karena dorongan jiwa, tapi ketakutan menghadapi risiko dari berwirausaha. Padahal kita tentu menyadari bahwa hidup adalah kumpulan dari risiko-risiko. Ketika sedang mengendarai motor atau mobil di jalan raya, ada risiko kecelakaan. Ketika naik pohon, ada risiko jatuh. Bahkan ketika tiduran di dalam rumah pun kita juga punya risiko tertimbun reruntuhan rumah. Kok bisa? Ya kalau terjadi gempa, angin topan, atau benacana alam yang tak terduga hal itu bukan mustahil untuk terjadi.
            Maka agak kurang tepat jika banyak yang tidak segera memutuskan untuk memulai usaha hanya karena alasan takut menghadapi risiko, takut gagal, takut modalnya habis, takut dimarahi pelanggan, dan ketakutan-ketakutan lain yang belum tentu terjadi. Hidup sebagai entrepreneur memang harus siap dengan banyak risiko. Justru di sanalah menariknya. Risiko bukan hambatan, tapi dianggap sebagai tantangan. Bukan untuk ditakuti, tapi untuk dihadapi. Saya kira, hampir semua profesi di muka bumi ini ada risikonya. Bukan hanya pengusaha, karyawan juga punya risiko. Risiko dimarahi atasan, risiko tanggung jawab dan tugas yang kadang berat, bahkan risiko PHK sangat mungkin terjadi.
            Maaf. Bukan maksud untukmencela atau menyepelekan profesi lain, tetapi sekedar mengingatkan bahwa pilihan hidup sebagai entrepreneur adalah salah satu pilihan hidup yang bijak dan patut dihargai. Ada banyak keutamaan yang bisa didapat oleh para pengusaha muslim. Apa saja itu?
            Pertama, yaitu peluang untuk memperluas kontribusi. Kita tentu menyadari tujuan utama penciptaan manusia di muka bumi ini adalah dalam rangka menjadi khalifah fil ardh (wakil Tuhan di  muka bumi). Sebuah mandate dan amanah yang cukup besar tentunya. Manusia dicipta untuk memakmurkan bumi. Ketika seseorang hidup hanya untuk memakmurkan diri sendiri, maka ia dinilai gagal dalam hidup. Apalagi sudah tidak memberi manfaat, malah membuat orang lain menjadi susah hidupnya, tentu ini lebih celaka lagi. Itulah sebabnya Rasulullah samai menempatkan orang yang banyak kontribusinya bagi sesama di tempat yang sedemikian tinggi. Manusia terbaik adalah manusia yang paling banyak memberi manfaat bagi sesama.
            Itulah salah satu niat baik yang seharusnya ada dalam hati semua entrepreneur, yakni bagaiaman agar dengan usahan yang kita rintis ini nantinya bisa memberi kontribusi terbaik bagi umat. Menurut Ippho Santosa, entrepreneur itu walau belum bisa merekrut karyawan, pada hakikatnya dia sudah membuka lapangan kerja, minimal untuk satu orang. Yaitu dirinya sendiri. Apalagi jika usaha sudah membesar, maka konstitusi yang diberikan juga semakin besar. Karyawan yang dipekerjakan membesar, pengangguran menyempit, dan hasil usaha kita bisa dimanfaatkan untuk kebaikkan.
            Itu keuntungan pertama. Keuntungan berikutnya dari pilihan hidup sebagai entrepreneur yaitu peluang untuk lebih menghargai waktu. Tahulah kita bahwa waktu pada hakikatnya adalah umur kita. Apabila kita menggunakan waktu untuk hal yang sia-sia, itu berarti kita sedang menyia-nyiakan umur kita. Begitu pun sebaliknya, ketika kita menggunakan waktu kita dengan produktif, pada hakikatnya kita sedang membuat usia kita produktif.
            Nah, salah satu ikhtiar untuk mengefektifkan waktu menurut hemat saya adalah dengan menjadi pengusaha. Mengapa? Pertama, ketika kita baru merintis usaha, hampir seluruh waktu kita tercurah pada usaha itu. Tidak ada waktu santai, yang ada adalah kerja keras dan terus belajar. Baru merintis tapi sudah “berani” menggunakan waktu untuk bersantai, maka ia sedang bersiap untuk tidak berhasil.
            Tak hanya itu, ketika seorang wirausahawan telah berhasil membesarkan bisnisnya sehingga tanpa kehadirannya bisnis itu sudah bisa berjalan, waktunya bisa tercurahkan sebaik mungkin untuk hal lain. Bill Gates misalnya yang kini lebih banyak mengurus yayasan sosialnya ketimbang Microsoft-nya. Penghargaan terhadap waktu bisa benar-benar dijalankan.
            Keuntungan ketiga yakni mengikuti wasiat Rasul. Empat belas abad silam Rasulullah sudah menasihatkan kalau sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada dalam perniagaan. Itu adalah pemberitahuan Rasul yang segala ilmunya bersumber dari Yang Mahatahu. Dan yang lebih penting lagi, wirausahawan adalah manusia merdeka. Saya pernaah menuturkan dalam buku, “Saudagar Langit” bahwa wirausahawan tidak punya atasan. Jadi kalau lagi pengen kerja ya kerja. Kalau ada aktivitas yang lain ya boleh saja. Tidak ada yang memarahi. Nggak ada bos yang ngomel-ngomel. Kecuali dimarahi relasi atau pelanggan, itu lain ceritanya. Betapa hebat Anda, jika hanya Allah dan diri Anda sendirilah yang menentukan nasib usaha Anda. Bukan atasan, bukan CEO, bukan bos. Tentu Anda akan bebas mengendalikan dan mengembangkan kreativitas Anda, tanpa dibatasi oleh orang lain.
            Salim A. Fillah pernah menegaskan, mengapa investasi, harus menjadi aktivitas bagi seorang mukmin, yakni agar menghargai waktu dan kerja keras, agar mengerti apa itu risiko, agar berjiwa merdeka, agar menghargai silaturahim. Agar berwawasan luas, agar cerdas mengelola anggaran, agar bisa belajar kepemimpinan, agar dapat merasakan indahnya sedekah, agar lebih peka untuk bersyukur dan bersabar, serta agar merasakan nikmatnya memberi kemanfaatan bagi orang lain.
            Sedangkan Imam Hasan Al-Banna pernah bertutur, “Hendaklah engkau memiliki proyek usaha ekonomi betapa pun kayanya engkau, utamakan proyek mandiri betapa pun kecilnya, dan cukupkanlah dengan apa yang ada pada dirimu betapa pun tingginya kapasitas keilmuanmu. Janganlah engkau terlalu berharap untuk menjadi pegawai negeri dan jadikanlah ia sesempit-sempit pintu rezeki”. Jangan ngambek. Bukan saya lho yang bilang.
            Pertanyaan terakhir, siap jadi entrepreneur? Lebih lengkapnya, telah saya kupas dengan detail dalam buku Saudagar Langit: Membongkar 5 Kunci Kesuksesan Bisnis Manusia-Manusia Langit.

Sumber:
Hidup Sekali, Berarti, Lalu Mati (Ahmad Rifa’I Ri’fan) : Sang Entrepreneur
Kembali ke atas